Cerita dari seorang anak yang tak pernah mendapatkan senyuman

Teman, sedikit berbagi kisah dari seseorang yang benar benar aku kenal..
Sebut saja si fulan. Seorang anak berumur 17th sudah cukup layak untuk hanya disebut dewasa. Fulan adalah gadis biasa, serba biasa. Diawal perjalanan nya di kampus UI ini, dia disambut berjuta senyuman yang entah ikhlas atau tidak, saya juga kurang tau. Tapi akan sangat terlalu naif ketika sesimpul senyum itu diasumsikan diberikan secara ikhlas oleh orang orang disekitarnya..

Hampir 2 tahun dia hidup menumpang, dan sungguh saya tau itu sangat tidak enak. Hidup dengan penuh ketergantungan dan entah batasan apa yang menbuat semuanya berasa tidak nyaman. Dari luar fulan terlihat biasa saja, tetap berkesan bahwa dia gadis biasa yang juga memiliki kehidupan yang biasa. Tapi tak pernah ada yang tau kehidupan dia yang sebenarnya. Cacian sepanjang hari karena kebodohan nya, hujatan karena entah kesalahan yang mana. Yang bbahkan dia sendirpun kadang tidak tau persis.
Benar benar tidak ada senyum untuknya, yang dia hadapi hanya muka kusut orang orang yang seolah tidak menginginkan kehadirannya, orang ora ng yang seakan meyerukan "Hey pengganggu enyah sajalah kau ini". Orang orang yang menertawakan kesalahan kesalahannya. Sungguh, seakan tidak ada maaf yang teralokasikan untuknya. Mereka hanya membiarkan kesalahan kesalahan kecil itu terus bermunculan dan menjadikan kasalahan si fulan tadi sebagai bahasan saat ngobrol bersantai.
Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi ketergantungan ini membuat fulan berkesan menjadi seorang psikopat. Berkepribadian ganda. Diluar rumah, ia berusaha menjadikan dirinya sepenuhnya sebagai dirinya sendiri. Dirinya yang mungkin bebas berimajinasi, berkreasi, berkayra, dan melakuka segala sesuatu yang positive. Namun, ketika kenbali dia menbuka pintu rumah. Imajinasi seolah mati. Otaknya berhenti berputar. Takut melakukan segala sesuatu, yang entah apa itu pasti nantinya akan bernilai salah, sepertinya sudah didefine deh. Tak satu pun pekerjaan bisa dia lakukan di rumah, termasuk segala macam tugas tugas kampus.
Sebenernya apa yang harus dilakukan si fulan agar dia bisa lepas dari keadaaan yang serba tidak jelas ini? Ketika pertanyaan yang sama dilontarkan kepada saya, saya Cuma diam, tak mampu menjawab. Saya tau betul, fulan adalah anak biasa yang juga ingin diperhatikan bukan di hakimi. Sebuah toleransi harusnya ada dalam kehidupan dia, tapi sepertinya toleransi tidak akan berpihak padanya. Kehidupan aneh yang di jalani ini, saya yakiin tidak akan berbuah manis. Hanya satu yang dia butuhkan, maaf. Tapi entah, sekali lagi maaf pun sepertinya tak akan berpihak padanya. Toleransi dan maaf, tak akan pernah menyapa dia di sebagian hidupnya. Kehidupan yang dia mulai ketika pintu rumah itu terbuka.
Pintu itu masih terbuka untuknya, tapi sepertinya seluruh isinya ingin memuntahkan fulan keluar. Dan senyum pun tak akan pernah kembali ada. Bisa anda bayangkan, betapa dinginnya hidup tanpa senyuman.
Tapi, fulan tetap bertahan dengan keadaan itu. Satu hal yang dia yakini, di sisi kehidupan dia yang lain, masih banyak senyuman yang akan menyapanya. Kehidupan yang dimulai ketika pintu itu tertutup. Kehidupan yang seakan ingin dia abadikan, namun dia tau itu tak mungkin. Satu hal yang dia harap, semoga tak satu pun orang yang tega mengambil kebahagiaan dia di sisi kehidupannya yang lain ini, dan semoga Allah menjaga dan mengabulkan harapannya…

0 komentar :